Bus
yang Renta
Pagi ini matahari tanpa
malu-malu keluar dari persembunyiannya. Dia memperlihatkan tubuhnya yang kuning kemerah-merahan dengan gagah dan memancarkan
sinarnya sehingga menerangi setiap pelosok Kota Padang. Burung-burungpun bertengger di atas pepohonan
yang melambai-lambai akibat belaian dari angin sembari bersiul menyambut pagi
yang begitu indah dan damai.
Lain halnya dengan hiruk pikuk
yang terdegar merdu pada gesekan roda bus kampus yang membuat roda bus tersebut
semakin menipis. Roda yang setiap harinya bertatapan langsung dengan aspal dan
kerikil-kerikil tajam yang berserakan di sepanjang laju lintasannya. Bus tersebut
selalu tepat waktu berbaris berjajar rapi menunggu calon-calon pemimpin bangsa
yang akan menunjanginya menuju Universitas Andalas.
Tubuh yang renta tidaklah
menjadi masalah baginya. Pintu-pintunya yang sudah hampir terlepas karena
dibanting mahasiswa-mahasiswa yang keluar masuk tidaklah membuatnya menjerit.
Dinding-dindingnya yang rapuh bukanlah menjadi halangan baginya untuk menyibak
dinginnya kabut-kabut pagi di Universitas
Adalas.
Hari ini merupakan hari
pertama bagiku untuk kembali ke kampus, setelah melewati liburan semester yang cukup panjang. Kumantapkan langkahku
yang pelan tapi pasti, menuju bus-bus
yang telah berbaris rapi dengan sopir-sopir yang siap mengendarainya.
Pemandangan pada semester dua ini tidak
ubahnya dari semester sebelumnya.
Bus-bus tersebut tetap saja terlihat
menyedihkan, dengan tubuhhnya yang semakin renta dan tak terurus.
Ribuan mahasiswa bergantian yang
siap menginjak tubuhhnya tidaklah dia musuhi
meskipun mahasiswa tersebut tidak merasakan betapa lelahya tubuh
itu menahan pijakan mereka. Mungkin
tubuh itu harus diistirahatkan sejenak, namun dia harus kembal bekerja dan bertanggung jawab atas tugasnya untuk pemuda-pemudi penerus bangsa.
Suara klason yang tak lagi
terdengar merdu membuatku mempercepat langkah ini. Sebagai penanda bahwa bus
itu sudah siap untuk berangkat menuju Universitas Andalas. Temanku yang berada
di sampingku menarik tasku sambil berkata “kita naik bus yang itu saja, yang ini sudah jelek dan tidak
nyaman untuk dinaiki” suara temanku teersebut terdenggar melecehkan bus yang
berada di depan mataku ini. Aaaah… aku tak menghiraukan kicauan temanku
tersebut, yang aku tau setiap benda memiliki perasaan yang tak ingin dibeda-bedakan. Sejenak terjadi rebutan-rebutan dan tarikan-tarikan
di pintu bus. Tak berlangsung lama memang tapi hal tersebut mungkin saja membuat bus
tersebut tidak nyaman.
Pak sopir manarik kemudi
sebagai cambuk untuk membuat bus
tersebut melaju. Langkah menuju lari
yang lumayan cepat namun seperti dipaksa membuat mesin-mesin bus
tersebut mulai kehausan. Ingin berhenti namun tubuh dikendalikan. Ingin
menyerah namun tanggung jawab harus
digenggam. Demi mahasiswa-mahasiswa yang sibuk memikirkan jalan hidup
masing-masing.
Suara tepukan dari mahasiswa
membuatnya berhenti sejenak untuk mengambil sebuah nafas panjang namun dia
harus melaju kembali menuju
tempat-tempat yang setiap jam bahkan setiap menit dia lalui. Lamunanku terhenti disaat aku melewati
gedung dimana tempat aku bajar. Tepukan tanganku membuat pak sopir itu memberhentikan bus itu
secara mendadak. Mungkin saja bus itu
terkejut namun dia sudah terbiasa dengan situasi seperti itu. Berehenti sejenak
lalu kembali beroperasi.
Ucapan terimakasih dari
mahasiswa-mahasiswa itu hannya terucap
untuk bapak sopir, “terimakasih pak” kata-kata itu yang sering terdengar, tak
ada seoranggpun yang mengatakan
“terimakasih bus kampus”. Menyedihkan memang, tapi itulah kenyataannya.
Ku buka pintunnya dengan lembut dan ku
tutup dengan pelan. Berharap dia
tidak kesakitan.
Ku lepas kepergiannya dengan senyuman dan berharap suatu sa’at nanti
jasanya akan aku balas dengan menggoreskan tinta-tinta di atas kertas putih yang melahirkan karya-karya tulis yang mungkin dapat dia ceritakan kepada anak cucunya nanti.
by : Mira Tania (Sastra Jepang Universitas Andalas Padang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar